suatu masa akan datang arus deras tuntutan rakyat membalik paradigma kekuasaan
Selasa, 15 Maret 2011
Pluralisme Budaya dalam konteks globalisasi Nusantara
Oleh : Iwan Ende Kusuma, aktivis SDI Jember,02
Nusantara dalam ilustrasi
I
Politik ekonomi kolonial sangat mempengaruhi pola dan semangat perdagangan anak-anak bangsa Nusantara dari jaman ke jaman. Ketika kapal-kapal Eropa masuk memaksa pedagang Nusantara untuk berkongsi mengeluarkan komoditas rempah-rempahnya, menuju pasaran Internasional. Perkongsian tadi menimbulkan gesekan-gesekan kepentingan antar bangsa Eropa, baik Spanyol, Portugis maupun Belanda yang menyusul kemudian. Muncul pula kemasan isu-isu perang antar bangsa Protestan dan Katolik, demi penguasaan secara monopolistik komoditas “emas” tadi. Meskipun sempat juga terjadi perlawanan dari raja-raja Nusantara untuk membela kepentingan para pedagang pribumi tetapi tidak ada yang berhasil mengalahkan kekuatan laut Belanda, karena tidak serentak dan hanya parsial saja. Dan beberapa akibat yang dihasilakan adalah bahwa raja-raja yang kalah atau sengaja kompromi dengan Belanda menyetujui perjanjian-perjanjian dagang, terutama daerah pelabuhan kapal-kapal dagang pribumi yang menjadi saingan dan perintang Belanda dibakar dan dirusak. Tidak begitu lama pula sifat-sifat berlayar niaga dan perdagangan pribumi semakin hancur. Kota-kota pelabuhan besar sudah dikuasai oleh Belanda, terjadilah monopoli perdagangan semua peraturan yang dibuat belanda harus dipatuhi oleh raja-raja serta rakyatnya.
II
Di daerah pesisiran sempat pula terjadi pembrontakan yang dilakukan oleh pedagang-pedagang dari Cina yang merasakan ketidak adilan ketika melakukan perdagangan di Nusantara yang didukung oleh gerakan dari kaum pedagang pribumi di pesisiran, mereka menuntut dan menyerang kedudukan raja agar mampu memperjuangkan nasib perdagangan yang adil. Tetapi berkat bantuan kekuatan senjata dari Belanda, mampu ditumpas habis. Kolonialisasi Belanda semakin berbasis di dalam kerajaan-kerajaan Nusantara, walaupun baru saja kehabisan energi setelah bertempur dengan Portugis. Keuangan negara Belanda menjadi membaik dan menumpuk kekayaannya, ketika selama 3 tahun memaksakan sistem tanam paksa. Bahwa petani diharuskan menyerahkan sebagian tanahnya untuk kepentingan Belanda serta wajib menyetor pajak 1/5 dari hasil panennya. Mulailah praktek-praktek kolusi pada birokrasi-birokrasi yang berlaku di kerajaan Nusantara, muncul kelas-kelas baru termasuk priyayi, pejabat birokrasi dan administrasi dan internal kraton/ kerajaan. Awalan penyusupan misi-misi kristen (protestan dan katolik) yang masuk mendampingi Islam, Hindu dan Budha, monopoli ekonomi, dan praktek birokrasi yang korup serta politik kekuasaan yang menghegemoni telah merambah dilini-lini kehidupan pribumi Nusantara. Penetrasi yang dilakukan oleh kolonial memang tidak serta merta tetapi justru bertahap dan pasti dalam pencapaian target penguasaan. Slow but sure ! lalu, adakah perlawanan-perlawanan dari pribumi yang terpinggirkan?
III
Perlawanan menjadi tidak berarti karena tekanan-tekanan yang dilakukan tidak terlalu hebat dan cukup menghantam kekuatan kolonial Belanda bahkan terjadi pembusukan-pembusukan pada setiap upaya pemberontakan. Rupanya kondisi dan semangat perlawanan pribumi di Nusantara pada waktu itu mengalami “perang saudara”. Dengan kemampuan memainkan politik adu domba, kolonial semakin leluasa menancapkan kekuasaannya. Tradisi dan kehidupan berbudaya masyarakat pun menjadi kabur, tidak menemukan kanal-kanal yang jelas, akar-akar tradisi semakin goyah melawan penetrasi budaya barat efek dari kolonial. Sifat budaya bangunan mereka menjadi inferior, menepi dan mengkerdil karena tergilas kepentingan kolonial. Apalagi setelah terbukanya jalur lalulintas jalan dan kereta api. Maka semakin lengkaplah penguasaan dan penjajahan oleh Belanda, untuk selalu mengkontrol dan mengebiri perlawanan pribumi. Tahapan berikutnya, munculnya wilayah-wilayah onderneming (perkebunan besar) sebagai pemenuhan fasilitas industri di Eropa. Mulailah babak-babak imperialisme barat yang menghisap aset kekayaan dan tenaga rakyat di negara ini.
IV
Sejarah pemandulan perlawanan pribumi Nusantara dalam penindasan ratusan tahun rupa-rupanya perlu dijadikan kajian untuk memandang perspektif pergerakan Nasional “greget” perlawanan terhadap kolonial Belanda. Dengan menggunakan “bahasa” lain yaitu kebangsaan, bahasa yang seharusnya berjarak dengan kemampuan penerjemahan budaya pribumi di Nusantara. Dalam pembangunan sikap kebangsaan inilah terjadi pengalihan perlawanan dan menciptakan musuh bersama diantara kekuatan-kekuatan lokal (akar-akar tradisi) yang secara sosio kultural tersebar di seluruh Nusantara. Butuh waktu lama, untuk menyambungkan antara bahasa Intelektual (sarjana pribumi lulusan Belanda) dan para tokoh-tokoh lokal yang berbasis budaya setempat (ragam budaya Nusantara) yang tentu saja telah terkontaminasi oleh kepentingan kolonial. Tetapi kondisi sosio politik berkata lain, bahwa percepatan menyatukan secara politik ada kesepakatan “ Soempah Pemoeda” sementara meminggirkan strategi budaya dalam kasanah “nasion”. Pembentukan karakter nasional belum menyentuh bahasa-bahasa di akar-akar budaya yang ada di Nusantara, muncullah “bahasa” untuk mempersatukannya yaitu Kebangsaan Indonesia. Dan apakah mampu mengakomodirnya ! kalau belum akan diatur kemudian ! maka diagendakanlah wacana penguatan “ Rasa kebangsaan Indonesia dan pembentukan karakter nasional“ di akar-akar tradisi dan di suku-suku bangsa yang sudah masuk dalam wilayah ke Indonesiaan.
V
Wacana anti penjajahan dan dorongan saudara Tua Asia memaksa para “founding fathers” untuk bersikap secara nasional, pilihan politiknya pada pembentukan “state” yaitu kemerdekaan Indonesia. Dengan sekian perbedaan yang ada diantara elemen-elemen pendiri bangsa inilah terjadi kesepakatan nasional bahwa “Indonesia Merdeka, merdeka dari penjajah Belanda”. Jadilah Indonesia, tetapi bahwa pembicaraan persoalan bangsa tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan memang masih menjadi pemikiran, karena sosialisasi kemerdekaan Indonesia daya jangkaunya tidak menembus seluruh Nusantara. Artinya tidak ada perubahan nasib yang nyata bagi para pribumi, mereka masih menjadi orang-orang yang terpinggirkan dalam sosial kemasyarakatannya. Mereka msih menjadi budak di negeri sendiri . Singkatnya ilustrasi serupa masih terjadi sampai sekarang Ya, setelah 50 tahun lebih Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Globalisasi dan sikap Nasional
Globalisasi berasal dari “globe” dalam bahasa Inggris atau “la Monde” dari bahasa Perancis yang artinya Bumi, dan secara luas diartikan bahwa globalisasi akan menjadikan semua bangsa-bangsa di dunia ini satu bumi dan anta batas negara. Dalam arti politik ekonomi globalisasi lebih menghembuskan paham-paham liberalisasi pasar dan privatisasi perusahaan negara menjadi milik swasta publik (asing) tergantung pada mekanisme pasar Internasional. Dan yang akan menentukannya adalah siapa saja yang mampu berkuasa secara ekonomi.
Budaya global bila ditanggapi secara positif selalu mengedepankan isu-isu Hak azasi manusia, Pluralisme agama dan multi kultur, perlindungan lingkungan serta kemajuan teknologi dalam kemasan praktis modernitas yang semua itu adalah hak yang mestinya dapat diakses oleh seluruh umat manusia di dunia ini lewat berbagai media yang tanpa batas juga. Kejadian disatu tempat dapat di dunia ini dapat langsung di akses oleh individu di daerah lain tanpa kesulitan birokrasi apa pun, tentu saja kecepatan mengakses informasi tadi dengan syarat kemampuan menguasai teknologinya. Dan bila ditanggapi secara negatif akibat dari masuknya globalisasi itu adalah terbentuknya pola ketergantungan baik, ekonomi, teknologi bahkan politik pemerintahan pun akan terpengaruh.
Di era global peran politik ekonomi mendesakkan perjanjian perdagangan antar negara bebas dan hampir tak mengenal batas, dalam implementasinya mengharuskan ada privatisasi pada perusahaan-perusahaan milik negara. Privatisasi dilakukan terhadap seluruh aspek ekonomi, termasuk diantaranya perusahaan-perusahaan telekomunikasi, bank, listrik bahkan BBM yang semuanya justru badan usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak. Di bidang pertanian, ada suatu kesepakatan yang disebut AoA (Agrement of Agriculture). Di dalam AoA ini diatur mengenai tidak bolehnya suatu negara melakukan proteksi perdagangan pertanian, penghapusan tentang pembatasan tarif, dan dihapuskannya kebijakan subsidi eksport dan produksi pertanian. Kesepakatan lain dibawah WTO ( World Trade Organisation)organisasi perdagangan dunia inilah yang mengatur mengenai pertanian adalah Trade Related Intelectual Proverty Rights (TRIP’s), suatu perjanjian mengenai pematenan terhadap teknologi hasil rekayasa genetika, termasuk juga keanekaragaman hayati yang diakui sebagai penemuan oleh pihak-pihak yang menguasai modal dan teknologi.
Tujuan pertama kali WTO adalah liberalisasi perdagangan, namun pada kenyataannya WTO menyebabkan monopoli perdagangan. Saat ini hampir 97 persen perdagangan dunia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Multi Nasional Coorporation (MNC) dan Trans National Coorporation (TNC).
Perusahaan-perusahaan Internasional juga menguasai budidaya pertanian. Mulai bibit, pupuk kimia, pestisida dan cara pengolahan pertanian dimiliki oleh perusahan tersebut. Di pelosok desa, petani telah dikenalkan, bahkan semakin tergantung dengan produk bibit, pestisida, fungisida dan pupuknya. Secara pasti petani mengalami ketergantungan dengan produk industri teknologi pertanian yang di monopoli oleh perusahaan internasional tersebut.
Perusahaan-perusahaan internasional juga masuk ke Indonesia lewat pertambangan, misalnya Freeport, Inco dan Newmont. Selain membawa persoalan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat dengan pengolahan limbah yang buruk, industri pertambangan telah menggusur pertambangan rakyat. Korban pertama kali akibat tambang yang tidak bertanggungjawab adalah masyarakat pedesaan di sekitar industri tambang tersebut. Pendapatan ekonomi masyarakat sekitar tambang dengan mata pencaharian yang mengandalkan sumber daya alam telah hilang akibat perampasan hak atas tanah dan pencemaran pada sumber-sumber kehidupannya. Munculnya konflik horisontal yang membutuhkan biaya sosial yang tinggi, perseteruan antar warga, munculnya penyakit-penyakit sosial semakin tak terhindarkan. Aneka ragam penyakit menimpa mereka yang disebabkan zat-zat kimia yang mengalir lewat limbah tambang dan dibuang di sungai, pantai dan laut. Kecemasan yang sangat meresahkan adalah limbah kimia berbahaya yang telah merasuk pada proses regenerasi (fungsi reproduksi) masyarakat sekitar industri tambang yang tidak ramah lingkungan. Lalu bagaimana nasib bangsa bila generasi penerus telah tercemari limbah beracun, adakah produk pemimpin yang cerdas dan briliant di masa datang ? Pribumi telah jauh dari alamnya, telah terjadi disharmonisasi dan keseimbangan antara jagad kecil (manusia) dan jagad besar (alam raya). Manusia tidak lagi menerima berkah alam dari sang Penciptanya, mungkin ?
Dalam kondisi kini, globalisasi perdagangan meyebabkan investasi secara bebas masuk pada kepentingan tingkat pertumbuhan ekonomi negara, maka privatisasi sebagai jawaban untuk memudahkan penguasaan modal. Dalam kenyataannnya penguasaan modal merupakan kekuatan intervensi yang dominan terhadap semua kebijakan negara sehingga justru mengakibatkan keterlanggaran hak-hak warga negara. Nasib masyarakat, khususnya di wilayah pedesaan seperti diujung tanduk. Dari sisi kebijakan tidak ada perlindungan yang pasti akan hak-hak masyarakat, elite politik pun tak mampu mengadakan perlawanan atas intervensi kekuatan modal itu.
Pola-pola peniadaan kepentingan akumulasi modal skala kecil/ UKM untuk petani pada kasus pemasaran hasil produksi pertanian, nampak sekali pada produk kebijakan mengenai aturan pajak import hasil produksi pertanian dari luar negeri. Misalnya beras dan buah-buahan, jelas akan meminggirkan posisi petani. Imperialisme baru sedang terjadi!!!. Kewibawaan negara telah tergadaikan demi kepentingan segelintir investor asing, perang negara sebagai payung politik rakyatnya telah tertembus dan terlewati bahkan dibatasi oleh kepentingan ekonomi. Bagaimana sikap politik secara nasional menghadapi arus globalisasi yang semakin merangsek kepentingan rakyat ? Perjuangan elite politik lebih mementingkan kepentingan kekuasaan dan belum ada desakan untuk berbuat atau menciptakan kebijakan demi kesejahteraan rakyatnya. Rakyat Indonesia masih menjadi budak di negeri sendiri. Lalu bagaimana dengan pembentukan karakter budaya nasional Indonesia, apakah agenda itu masih berguna sebagai pembentukan perlawanan terhadap arus globalisasi sekarang ini. Ataukah sudah terlambat dalam penyikapannnya ketika berada ditengah-tengah arus globalisasi?
Semangat Pluralisme Budaya dalam posisi ke Indonesiaan
Indonesia kini, ketika masa-masa reformasi sudah berjalan sampai detik ini pun sepertinya belum ada perubahan yang berarti untuk perbaikan keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua belum berubah baik birokrasi dan administrasi pemerintahan, institusi peradilan, prilaku kelas-kelas peninggalan Belanda, penguasaan ekonomi dan penghargaan terhadap proses budaya di lokal-lokal. Perubahan yang hanya didasari kepentingan politik telah merubah struktur politik menyangkut keberadaan dan aturan dasar negara (amandemen UUD 45), tetapi itu tidak akan berarti juga ketika suasana hegemoni negara masih terlalu dominan. Lantas bagaimana semangat pluralisme budaya mampu memberikan kontribusinya dalam membangun interaksi kehidupan berbangsa ?
Pluralisme budaya pada substansinya merupakan nyawa atau inti semangat kekuatan interaksi komunitas tradisi dalam memandang kompleksitas kemajemukan budaya Nasional, dan semangat ini faktor potensial untuk menggagas toleransi antar budaya di Nusantara. Kata-kata kutipan kitab Bhagawad Gita bahwa semangat interaksi antar manusia adalah untuk menambah kesuburan Religiositas jaman baru yang sejuk, toleran, tidak fanatik dan tidak dogmatik seharusnya mengingatkan pada kepercayaan komunitas tradisi atau mitologi di Nusantara tentang sikap mental “tantularisme” keesaan Tuhan dan keesaan kebenaran berujung pada cinta kasih. Dalam konteks ini kebudayaan diartikan sebagai suatu harkat yang secara esensial, alamiah dan kekal menjadi “jiwa” sebuah negara dan bangsa. Kebudayaan adalah”nilai-nilai luhur” yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari negara dan bangsa, dan biasanya ujung-ujungnya ber”markas” pada primordialisme lokalitas.
Dan realitas ini adalah pengalaman kondisi pemahaman pluralisme budaya di Nusantara , karakter budaya lokal yang religius, non dogmatis, akomodatif, toleran dan optimistik telah tertergeser menjadi nilai-nilai politik kebudayaan. Munculnya Pancasila oleh Soekarno, merupakan pemahaman pluralisme budaya yang memasuki wilayah politik kebangsaan saat itu, dilanjutkan dengan struktur politik liberal (demokrasi parlementer) serta pelaksanaan pesta demokrasi politik 1955 dengan multi partainya sampai pada Dekrit Presiden (politik tangan besi: demokrasi terpimpin), dan otoriter pluralitas pada kekuasaan ORBA yang telah mengembalikan pandangan yang mengesahkan “pada kondisi budaya yang majemuk (plural) membutuhkan kekuatan tangan besi untuk mengaturnya” budaya yang centralistik. Lalu bagaimanakah praktek strategi budaya di masa pemerintahan reformasi oleh Megawati ditengah-tengah semangat politik ekonomi yang neo-liberal ini ? Adakah langkah praksis untuk menebus dosa sosial ?
Ajaran menuju kebaikan demi kemaslahatan orang banyak telah banyak mengalun dan mengalir pada pemikiran para pemikir bangsa dan hampir sepanjang masa pula ajaran tentang moralitas tersebut di si’arkan lewat mimbar-mimbar, podium-podium, lembaga-lembaga adat, institusi pendidikan bahkan di institusi-institusi dan pelembagaan agama untuk umatnya. Tetapi hampir-hampir tidak memunculkan hasil yang menggairahkan demi ke Indonesia an yang lebih baik untuk kesejahteraan rakyat, kreatifitas tradisi yang mendinamisir budaya lokal nampaknya mengalami jalan buntu. Budaya lokal telah berada dalam himpitan kekuatan politik budaya global yang menyerang setiap unsur dan sendi-sendi kebudayaan, diskriminasi semacam ini tentu saja memerlukan penyikapan secara nasional dengan jaminan negara sebagai payung politik. Realitasnya budaya lokal sebagai institusi komunitasnya pun tidak pernah berpikir global dan pemikiran global yang tidak pernah di”bumikan” ke lokal yang menyebabkan kemandegan. Kuatnya arus globalisasi semestinya disikapi secara kontekstual, mungkin dengan menggagas penguatan pemahaman kebudayaan yang “baru”.
Menggagas Indonesia “Baru”, suatu yang tabu ?
Kebudayaan Indonesia disusun oleh kesatuan atas berbagai daya rangsang suara rakyatnya yang dilontarkan keseluruh sudut dunia yang kemudian dilontarkan kembali dalam suaranya sendiri. Sehingga bangunan entitas budaya lokal perlu penguatan bukan pelestarian tetapi lebih mengarah pada penataan sebagai organ yang mampu bersikap secara mandiri dan resisten terhadap goncangan “perubahan”, membangun dialektika kehidupan kontituennya menjadi kepercayaan budaya “baru”. Karena Revolusi budaya adalah penempatan nilai- nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan, termasuk rekonstruksi budaya lokal menuju revitalisasi tradisi agar lebih demokratis (tidak paternalistik), tidak terlalu fanatisme, insklusif dan memandang penting proses transformasi nilai dan regeneratif dan tetap memandang pluralisme budaya tawaran globalisasi secara kritis.
Kebudayaan tidak bersifat esensial deterministik, melainkan adalah sebuah proses konstruksi “imajinatif” yang dinamis dan terus menerus berlangsung untuk menentukan sesuai hati dan pikiran untuk kebutuhan jaman. Artinya kebudayaan Indonesia adalah kekuatan “kata kerja” yang selalu memandang”kemajemukan adat budaya yang dinamis dalam wilayah nasion/ bangsanya” atau kebhinekaan dalam kasanah demokrasi Indonesia.
Pandangan kebudayaan “baru” mengarah untuk membangun terbentuknya kedaulatan dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia dengan semangat kebangsaan, mungkin pada tahapan awalnya perlu “perjuangan kelas” oleh komunitas masyarakat yang terpinggirkan baik secara ekonomi, budaya dan politik. Pada kondisi yang adil tanpa diskriminasi ini baru dibicarakan konteks Pluralisme budaya dalam kasanah Kebangsaan. Bahasa konktret tahapan ini adalah merebut kembali akses modal secara ekonomi untuk membangun kondisi struktur politik dan budaya di dalam komunitas masyarakat lokal. Kondisi ini sebenarnya menjawab bahwa Pluralisme budaya bukan di”motori” oleh politik globalisasi tetapi justru merupakan penyikapan nasional. Bahwa pengembalian semangat kebangsaan dan kewibawaan negara sebagai payung politik yang melindungi segenap bangsa dan rakyat Indonesia, kondisi ini penting dan harus segera diwujudkan, agar negara tidak selalu terkontaminasi oleh politik ekonomi global. Efeknya pada pemerintah daerah (otonomi daerah), atau bahkan pada institusi-institusi pendidikan (swastanisasi) maupun ekonomi(privatisasi). Dan mungkin pula menghinggapi pemikiran kita sekarang ini.
Mungkin ide ini masih abstrak : kalau secara ekstrem katakanlah suatu usaha menuju “Federasi Indonesia” (sistem negara federal), ini yang perlu untuk selalu dicermati. Bahwa gagasan federasi akan banyak syarat yang mengikutinya :
1. Negara dalam keadaan stabil artinya kondisi keteraturan dari masyarakatnya telah mencerminkan demokrasi. Negara-negara bagian nantinya akan diatur oleh aturan-aturan mengenai politik luar negerinya oleh Pusat (sentralisasi) juga hasil pendapatan SDA, keahlian SDM, semuanya tidak seenaknya atas otonomi ekonomi yang individualistis.
2. Negara menjamin pembentukan entitas budaya lokal sebagai rumpun solidaritas etnis kesamaan karaklter dan tradisi dalam sustu kewilayahan. Budaya lokal adalah sebuah kekuatan organ yang akan mampu mengatur strutur politik dan akses ekonomi sebagai perimbangan pendapatan dan partisipasi dalam kebijakan politik secara nasional
3. Negara sebagai payung politik, untuk mengatur, mengelola dan merencanakan suatu koordinasi secara nasional tentang politik luar negeri, yang menyuarakan kepentingan masyarakatnya.
Dari berbagai syarat di atas mungkin pandangan tentang federasi akan lebih dapat dilihat sebagai wacana kebangsaan. Sehingga jargon “persatuan dan kesatuan” dan klaim Nasionalisme Indonesia lebih jelas dan bukan semata-mata demi menyelamatkan aset elite-elite di Jakarta ( bahaya laten) karena terjadi dikotomi pendapatan yang hanya menyentral di satu poros Jawanisasi. Jika desentarlistik terjadi maka kemungkinan akan menumbuhkan kesadaran kebangsaan atas kesamaan rasa solidaritas etnis, tradisi dan karakter budaya lokalnya maka, rakyat Aceh, Papua , Borneo, Sulawesi atau Maluku yang sekian lama terhisap SDA-nya tanpa mengenyam sedikitpun hasil kekayaannya, akan kembali bergairah dan kreatif dalam mengenali budaya lokal yang selama ini terpinggirkan oleh kepentingan “strategi kebudayaan Nasional” yang sentralistik. Sehingga akan mampu mewarnai pembentukan karakter budaya nasional sehingga lebih bercorak “imajinasi” ke Indonesia an di jaman baru. Smoga dapat dijadikan bahan diskusi yang menarik. Amin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar