Selasa, 15 Maret 2011

Perupa Jember terlalu sering jajan di jalanan



Oleh : Iw ‘Ndut kartunis yang bergabung di komunitas GNI tinggal di Jember

Perjalanan para perupa seringkali menempuh jalan yang tidak serupawan gambar indahnya dunia, betapa pun perupa hadir mengisi batas-batas ruang dan waktu di masyarakat namun yang didapat hanyalah cibiran, sikap apatis tak nggubris bahkan kesinisan yang menjengkelkan. Hadir dalam karya senirupa memang tidak gampang begitu saja, bahkan dalam proses penuangan intepretasi ide dan gagasan di karya akan mengalami berbagai “godaan” . Sebuah karya yang sublim pasti ingin mengatakan sekian makna untuk kemudian berharap datang apresiasi baik dari para pendahulunya maupun masyarakat penikmat sehingga akan menambah stamina dalam tradisi berkesenian. Respon yang kondusif ini jarang sekali ditemukan di masyarakat , utamanya diruang-ruang birokrasi dan akademik, terasa sangat kering dan hambar sekali. Hanya sesekali dengan sekedar formalitas dan menghanguskan sisa anggaran mereka mencoba meraba sambil merem inikah perupa Jember ? Sebenarnya sikap seperti ini sudah terlalu sering dan menjadi langganan di telinga perupa Jember, lantas perlukah perupa merespon basa-basi itu saya pikir kita sudah tidak perlu jawaban lagi.

Sebagai orang yang terlibat dalam proses kiprah perupa Jember, saya lebih optimis jika melihat suatu karya senirupa hadir, menyapa dan menyirami kebutuhan apresiasi masyarakat kota ini. Semangat berproses bersama terasa lebih dialektis dan mampu saling mengisi menuju kedalaman apresiasi.

Catatan-catatan penting yang sempat terekam oleh masyarakat Jember tentang eksistensi perupa dapat dilihat dari munculnya event pameran. Bekas-bekas jejak di lingkungan kampus misalnya Painting Exibition UKM Kesenian Unej, Pameran karikatur, Instalasi bebas DKK fak. Sastra Unej itu semua diprakarsai oleh kalangan mahasiswa kreator senirupa. Untuk event diluar kampus juga cukup banyak meninggalkan impresi di masyarakat ketika ada Pameran lukisan bersama pelukis Jember, MSRJ di gedung Bayangkara, pameran bersama pelukis di sanggar P. Ketut, dan beberapa pameran lukisan anak-anak oleh komunitas GNI. Disamping maraknya setiap diadakan lomba lukis dan mewarnai anak betapa Jember sebenarnya sangat potensial melahirkan tokoh-tokoh senirupa. Tetapi akan menjadi na’if jika kita melirik proses perupa-perupa Jember sekaliber Anshori, Miarto, Fadli Rasyid, Ketut, Suroso yang banyak “jajan” di luar Jember. Akankah muncul jarak antara perupa muda dan gaek ? Keterlibatsenggamaan dengan peradaban Jember nampaknya bukan sekedar rekreatif tetapi akan lebih bersifat memaknainya. Mungkin lambat laun Jember sebagai kota kawah candradimuka para perupa semakin hari semakin menampakkan karakter yang jelas.

Suasana peradaban seniman di luar Jember, ternyata lebih menggoda para perupa kita untuk hengkang dan menikmati seteguk kopi di luar kota, meski hasilnya masih kurang puas ditetesan terakhir. Keterikatan akan lingkungan adat tradisi Jember mungkin akan selalu menghantui proses kematangannya. Dibandingkan Jember sejarah senirupa diluar tidak sekedar semangat menghargai utnuk “tambal butuh”, atau karena pengakuan yang diada-adakan untuk memenuhi jejak-jejak perkembangannya. Kondisi ini yang menajdikan perupa Jember lebih hidup layak di kota orang. Lalu perupa Jember yang mana yang patut di catat sejarah kalau masyarakat tidak mengenal sosoknya ? Siapa yang salah !

Isu-isu globalisasi terus memojokkan kepercayaan perupa terhadap karya dan maknanya, kadang bisa sampai harus “menjual”idealisme karena kebutuhan cacing-cacing perut. Perubahan di Jember harus segera dipikirkan terutama memikirkan bagaimana cara menyambut perupa kita ini “ngandang” kembali dan dapat menjadi kreator budaya di kotanya sendiri. Kebutuhan akan adanya ruang publik “ Art Center” yang berdekatan dengan kebutuhan spiritual masyarakat merupakan solusi pemecahan membangun interaksi perupa dan penikmatnya sementara ini. Sehingga masyarakat merasakan sentuhan nilai-nilai sejarah, adat dan tradisi yang itu tersirat pada karya yang sekaligus sebagai bacaan realita bagi pembentukan karakter perupa kita mencoba survive ditengah – tengah arus modern dan globalisasi. Ini adalah salah satu bentuk partisipasi pendidikan kesadaran budaya masyarakat Jember. Apa yang dapat kita sumbangkan untuk mewujudkan komunikasi dan daya apresiasi masyarakat

Pergulatan Perupa muda Jember dalam mencapai eksistensinya merupakan suatu kelahiran yang berani menatap kedepan, mereka adalah perupa pejuang yang hadir dan mengisi ruang dan waktu di Jember kota tercinta. Salut buat kerja ini , pameran di lapangan terbuka sebagai media bergumul dengan masyarakat Jember. Mungkin ini fenomena dari kelahiran karakter putera-putera kreatif Jember yang berani menerima gesekan dari masyarakat penikmatnya dan tidak perlu untuk selalu jajan di luar. Wajar kalau perupa muda mengingatkan yang tua untuk menggagas atau bahkan menghidupi budaya Jember kearah lebih dinamis. Smoga jadi kenyataan yang berarti.
Salam untuk kota Jember tercinta,
Jember, 10 Januari 2002
Iw ‘Ndut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar