suatu masa akan datang arus deras tuntutan rakyat membalik paradigma kekuasaan
Selasa, 15 Maret 2011
Bumi satu, manusianya sama, beragam budayanya
Pemetaan bangsa-bangsa didunia lebih memberi nuansa keragaman etnisitas yang mempunyai entitas budaya yang mengalami sublimasi pada proses historisitas kebangsaan dan kebudayaannya. Keragaman .....Globalisasi berasal dari “globe” dalam bahasa Inggris atau “la Monde” dari bahasa Perancis yang artinya Bumi, dan secara luas diartikan bahwa globalisasi akan menjadikan semua bangsa-bangsa di dunia ini satu bumi dan anta batas negara. Dalam arti politik ekonomi globalisasi lebih menghembuskan paham-paham liberalisasi pasar dan privatisasi perusahaan negara menjadi milik swasta publik (asing) tergantung pada mekanisme pasar Internasional. Dan yang akan menentukannya adalah siapa saja yang mampu berkuasa secara ekonomi.
Budaya global bila ditanggapi secara positif selalu mengedepankan isu-isu Hak azasi manusia, Pluralisme agama dan multi kultur, perlindungan lingkungan serta kemajuan teknologi dalam kemasan praktis modernitas yang semua itu adalah hak yang mestinya dapat diakses oleh seluruh umat manusia di dunia ini lewat berbagai media yang tanpa batas juga. Kejadian disatu tempat dapat di dunia ini dapat langsung di akses oleh individu di daerah lain tanpa kesulitan birokrasi apa pun, tentu saja kecepatan mengakses informasi tadi dengan syarat kemampuan menguasai teknologinya. Dan bila ditanggapi secara negatif akibat dari masuknya globalisasi itu adalah terbentuknya pola ketergantungan baik, ekonomi, teknologi bahkan politik pemerintahan pun akan terpengaruh.
Pluralisme budaya pada substansinya merupakan nyawa atau inti semangat kekuatan interaksi komunitas tradisi dalam memandang kompleksitas kemajemukan budaya Nasional, dan semangat ini faktor potensial untuk menggagas toleransi antar budaya di Nusantara. Kata-kata kutipan kitab Bhagawad Gita bahwa semangat interaksi antar manusia adalah untuk menambah kesuburan Religiositas jaman baru yang sejuk, toleran, tidak fanatik dan tidak dogmatik seharusnya mengingatkan pada kepercayaan komunitas tradisi atau mitologi di Nusantara tentang sikap mental “tantularisme” keesaan Tuhan dan keesaan kebenaran berujung pada cinta kasih. Dalam konteks ini kebudayaan diartikan sebagai suatu harkat yang secara esensial, alamiah dan kekal menjadi “jiwa” sebuah negara dan bangsa. Kebudayaan adalah”nilai-nilai luhur” yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari negara dan bangsa, dan biasanya ujung-ujungnya ber”markas” pada primordialisme lokalitas.
Dan realitas ini adalah pengalaman kondisi pemahaman pluralisme budaya di Nusantara , karakter budaya lokal yang religius, non dogmatis, akomodatif, toleran dan optimistik telah tertergeser menjadi nilai-nilai politik kebudayaan.
Psiko “doa keselamatan “ linguistik dan keragaman budaya
Ajaran menuju kebaikan demi kemaslahatan orang banyak telah banyak mengalun dan mengalir pada pemikiran para pemikir bangsa dan hampir sepanjang masa pula ajaran tentang moralitas tersebut di si’arkan lewat mimbar-mimbar, podium-podium, lembaga-lembaga adat, institusi pendidikan bahkan di institusi-institusi dan pelembagaan agama untuk umatnya.
Tetapi hampir-hampir tidak memunculkan hasil yang menggairahkan demi ke Indonesia an yang lebih baik untuk kesejahteraan rakyat, kreatifitas tradisi yang mendinamisir budaya lokal nampaknya mengalami jalan buntu. Budaya lokal telah berada dalam himpitan kekuatan politik budaya global yang menyerang setiap unsur dan sendi-sendi kebudayaan, diskriminasi semacam ini tentu saja memerlukan penyikapan secara nasional dengan jaminan negara sebagai payung politik. Realitasnya budaya lokal sebagai institusi komunitasnya pun tidak pernah berpikir global dan pemikiran global yang tidak pernah di”bumikan” ke lokal yang menyebabkan kemandegan. Kuatnya arus globalisasi semestinya disikapi secara kontekstual, mungkin dengan menggagas penguatan pemahaman kebudayaan yang “baru”.
Menggagas Indonesia
Kebudayaan Indonesia disusun oleh kesatuan atas berbagai daya rangsang suara rakyatnya yang dilontarkan keseluruh sudut dunia yang kemudian dilontarkan kembali dalam suaranya sendiri. Sehingga bangunan entitas budaya lokal perlu penguatan bukan pelestarian tetapi lebih mengarah pada penataan sebagai organ yang mampu bersikap secara mandiri dan resisten terhadap goncangan “perubahan”, membangun dialektika kehidupan kontituennya menjadi kepercayaan budaya “baru”. Karena Revolusi budaya adalah penempatan nilai- nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan, termasuk rekonstruksi budaya lokal menuju revitalisasi tradisi agar lebih demokratis (tidak paternalistik), tidak terlalu fanatisme, insklusif dan memandang penting proses transformasi nilai dan regeneratif dan tetap memandang pluralisme budaya tawaran globalisasi secara kritis.
Kebudayaan tidak bersifat esensial deterministik (pengkristalan kekuatan inti yang dominan menentukan), melainkan adalah sebuah proses konstruksi “imajinatif” yang dinamis dan terus menerus berlangsung untuk menentukan sesuai hati dan pikiran untuk kebutuhan jaman. Artinya kebudayaan Indonesia adalah kekuatan “kata kerja” yang selalu memandang”kemajemukan adat budaya yang dinamis dalam wilayah nasion/ bangsanya” atau kebhinekaan dalam kasanah demokrasi Indonesia. Bahwa kata kerja adalah merasakan kegalauan dengan factual, segala yang terjadi adalah sebagaian dari semesta perubahan yang sedang terjadi. Baik menimpakita sebagian maupun semuanya. Baik kita akan dipengaruhi oleh arus atau kita yang akan memmpengaruhi arus budaya kekinian. Tidak bias selalu berada dalan idea budaya, semakin kita jauh dengan fakta maka semakin berjarak pula penyususunan startegi budaya kita. Bahwa masyarakat adalah anasir budaya, dan bahwa alam dan sekitarnya adalah factor pembangun budaya menuju keberadaban budaya nampaknya sedekat mungkin kita bersetubuh dengan factor-faktor tadi. Sehingga akan muncul semangat sejalan secita-cita, jika terhalang sudah semestinya disingkirkan dengan sebuah kesadaran baru. Indonesia beragam suku bangsanya tetapi kemerdekaan berbudaya dengan kebhinekaan tunggal ika menjadi satu tujuan dalam lima sepuluh tahun lagi. Tak kan mampu suku-suku menghadang arus global hanya dengan doublecover semata, tentu sesering mungkin melakukan counter attack hit and run. Viva Indonesia, bravo nusantara, Merdekalah Indonesia raya. Ende Ndut sekuma, bonsa 1654 jbr.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar