Jumat, 18 Maret 2011

Penyesatan Informasi itu Model Lama pembodohan Masyarakat



Jumat, 26 Maret 2010. Seorang Anggota KOMPAK kelompok masyarakat perjuangan tanah ketajek , Pak Su (60 tahun), seorang warga desa Badean-Karang Pakel didatangi oleh beberapa orang. Menurut kesaksian Pak Su, orang-orang itu adalah Wakil Kecamatan Panti, Polsek Panti, Koramil Panti, Haji Mukhlis, Parjo, Pak Yayun, Haji Karim, Pak Ibin dan Sawir. Mereka mendatangi Pak Su dan memaksanya untuk cap jempol (ngempol) dan di foto. Pak Su sementara melayani tindakan tersebut, tanpa keterangan yang mencapai nalar nya.
Ceritanya secara kronologis begini kata pak Waroh menjelaskan, saat Pak Su memotong bambu di pekarangan miliknya. Dia didatangi oleh 8 orang. Mereka mengajak Pak Su untuk pulang ke rumahnya. Sampai di rumah, mereka dipersilahkan masuk lalu Pak Su menanyakan apa maksud dan tujuan serta siapa orang-orang ini. Lalu dijawab oleh masing-masing mereka berasal dari Wakil Kecamatan Panti, Polsek Panti, Koramil Panti, Haji Mukhlis, Parjo, Pak Yayun, Haji Karim, Pak Ibin dan Sawir. Dari beberapa orang tersebut yang Pak Su kenal adalah Haji Mukhlis, Parjo, Pak Yayun, Haji Karim, Pak Ibin dan Sawir. Mereka adalah tetangga di wilayah Karang Pakel Desa Badean. Pada saat itu, Pak Ibin tidak ikut masuk ke rumah Pak Su. Setelah memperkenalkan diri masing-masing lalu Pak Su dipaksa oleh Pak Yayun dengan menyodorkan kertas dan menarik tangan Pak Su untuk cap jempol. “Sudah tidak perlu banyak tanya, cap jempol saja langsung” kata Pak Yayun. Disela Pak Su melakukan cap jempol lalu dia difoto. Sontak Pak Su merasa kaget dan ketakutan karena tidak tahu apa sebenarnya maksud dari kedatangan orang-orang itu.
Kemudian Pak Su menanyakan kembali apa maksud mereka sebenarnya. Lalu dijawab oleh Haji Mukhlis dan Parjo bahwa yang bertanggung jawab atas ini semua adalah Pak Ibin karena Pak Ibin yang mengarahkan orang-orang itu datang menjumpai Pak Su. Dia adalah tetangga Pak Su. “Sudah tenang saja, nanti kalau sampai terjadi apa-apa yang bertanggung jawab adalah Pak Ibin,” kata Pak Yayun. Parjo ikut menambahkan bahwa “tenang saja Kak, pokoknya ikut Bupati Djalal.” “Apakah ini ada urusannya dengan pembagian sertifikat tanah Ketajek?”, tanya Pak Su. Lalu dijawab oleh Pak Yayun, “iya nanti biar cepat dapat tanahnya, asal ikut Bupati Djalal.” Setelah cap jempol dan difoto, Pak Su dimintai uang sebesar Rp. 6.500 untuk membeli materai oleh Parjo. Tapi dijawab oleh Pak Su kalau dia tidak punya uang samasekali. Lalu setelah itu mereka pergi karena sudah mendung akan turun hujan.
Setelah dari tempat Pak Su cerita ini diteruskan, beberapa orang itu melanjutkan ke rumah Pak El (53 tahun). Mereka dipersilahkan masuk dan juga ditanyai oleh Pak El, apa maksud kedatangan orang-orang itu. Pak El disuruh cap jempol untuk penyelesaian dan pembagian tanah Ketajek. Lalu Pak El menyuruh mereka untuk membacakan apa sebenarnya isi dari surat yang harus di cap jempol. Lalu Pak Yayun menjawab bahwa surat ini bertujuan untuk penyelesaian dan pembagian tanah Ketajek. Jadi surat yang diberikan itu harus ada persetujuan dari warga ahli waris tanah Ketajek dalam bentuk tanda tangan atau cap jempol sebagai pendataan baru. Tapi Pak El menolaknya, dia menyuruh orang-orang itu untuk menemui Pak Waroh (ayahnya Munawaroh putrid sulungnya). Seorang Ketua Kelompok Pejuang Tanah Ketajek (KOMPAK) di wilayah Pakis. Pak El meminta waktu 5 hari untuk memikirkan akan melakukan cap jempol atau tidak. Tapi dijawab oleh Sawir “terlalu lama kalau 5 hari.” “Bagaimana kalau 3 hari, nanti saya datang ke rumah Sawir,” kata Pak El. Sawir menambahkan “surat ini harus segera di cap jempol agar penyelesaian dan pembagian tanah Ketajek bisa lebih cepat.” Sawir juga menyampaikan bahwa Pak Waroh sibuk saat ini. Namun, dengan pendiriannya Pak El tetap menolak permintaan orang-orang itu. Pak El memaksa mereka untuk menemui ketuanya yaitu Pak Waroh dulu , karena beliau adalah komandan kami sebagai ketua KOMPAK .
Selang beberapa hari setelah kejadian itu, Pak Su dan Pak El datang menemui Pak Waroh di kebunnya daerah Sumber Urang. Mereka menyampaikan kejadian bahwa telah datang beberapa orang dan memaksa cap jempol dengan alasan untuk penyelesaian dan pemberian tanah Ketajek. Saat menerima penjelasan itu, Pak Waroh sempat kaget. Dia berpendapat bahwa terjadi lagi modus lama yang berkedok penyelesaian dan pembagian tanah Ketajek dengan meminta tanda tangan atau cap jempol dari ahli waris. Cara yang digunakan biasanya menggunakan aparat pemerintah Desa, Kecamatan, Polisi dan Koramil untuk menekan warga agar tanda tangan atau cap jempol. Ini modus cara-cara pembodohan rakyat yang harus dilawan.
Sampai saat ini , maret 2011, upaya penyelesaian kasus tanah Ketajek antara Pemerintah Kabupaten Jember yang diwakili Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) dan warga, masih jauh dari penyelesaian. Sejak perampasan tanah Ketajek oleh Pemerintah Kabupaten Jember atas hak milik warga tahun 1970. Dilanjutkan pengusiran dan penembakan atas warga oleh anggota Brimob yang menyebabkan 1 korban meninggal (alm . Anwar Kholili) , puluhan terluka dan dipenjara. Saat pendudukan (reclaiming) oleh warga atas tanah Ketajek tahun 1998. Kejadian ini begitu menakutkan dan pahit dirasakan warga masyarakat desa hutan di Kecamatan Panti. Pemerintah Kabupaten Jember terlihat tidak bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Kepemilikan sumber-sumber agraria malah dikuasai dan dirampas dari tangan rakyat. Kalaupun rakyat mencoba menggugatnya maka tak segan pemerintah menggunakan kekuatan penegak hukum untuk melakukan kekerasan dan menakut-nakuti warga. Kabar teakhir dari keputusan pengadilan negri jember ,kasus gugatan petani melawan PDP dimenangkan oleh hakim.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jember 16 maret 2011, akhirnya memenangkan rakyat Ketajek, Kecamatan Panti, terkait sengketa tanah melawan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember. Majelis Hakim yang diketuai Prio Utomo menghukum PDP membayar ganti rugi penguasaan tanah sejak tahun 1972 itu kepada tiga penggugat sebesar 311 juta rupiah. PDP juga harus mengembalikan sekitar 5 hektar tanah Ketajek kepada rakyat. Dalam gugatannya, penasehat hukum penggugat, Suyanto, menuntut ganti rugi sebesar 3 milyar rupiah kepada tergugat dan menyerahkan sepenuhnya penguasaan tanah kepada rakyat. Namun dalam putusannya majelis hakim hanya mengabulkan sebagian ganti rugi yang diajukan para penggugat.

Meski demikian tim penasehat hukum bersama kliennya menerima atas putusan itu, dan berharap pemerintah dan PDP tidak menempuh jalur hukum lagi, dan menyelesaikannya secara damai sesuai putusan hakim. Menyusul putusan Pengadilan Negeri Jember itu, salah seorang perwakilan rakyat Ketajek, Sugik Turam, menyatakan ratusan warga Ketajek segera mengajukan gugatan yang sama. Sebab, menurut Sugik, masih ada 400 hektar lebih tanah Ketajek milik sekitar 800 warga yang selama ini masih dikuasai oleh PDP. Sedangkan yang sudah mengajukan gugatan hanya tiga orang dengan obyek tanah sengketa 5 hektar saja. Sementara itu dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Jember, penasehat hukum tergugat, Joko Wahyudi (pengacara Jember), menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut. Joko belum bisa memastikan apakah menerima putusan itu atau justru mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi di Surabaya.semoga ini angin keterbukaan dari kebuntuan. Tetapi harus tetap waspada terhadap cara-cara peredaman gerakan rakyat untuk menuntut pengemabalian tanah sengketa Ketajek. Hati-hati setiap gerakan yang kontra produktif terhadap perjuangan perebutan tanah Ketajek. Bersatulah masyarakat Ketajek, rebut kembali tanah rakyat, demi kesejahteraan rakyat. Lawan setiap upaya yang menghancurkan persatuan rakyat Ketajek . Ende ndut kusuma, pengelola sekber. konsolidasi rakyat untuk demokrasi Jember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar