Selasa, 16 November 2010

INSPIRASI ENLAI


ENLAI spirit
Zhou Enlai (1949 dan 1958 menjabat menlu Tiongkok).
Zhou Enlai adalah Negarawan, dia ahli revolusi, ahli strategi militer dan ahli urusan luar negeri , salah seorang pemimpin  Republik Rakyat Tiongkok, serta salah seorang pendiri Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok. Keluarga Zhou Enlai berasal dari kota Shaoxing, Propinsi Zhejiang. Ia dilahirkan di Huai'an, Propinsi Jiangsu pada tanggal 5 Maret 1898, dan wafat di Beijing pada Januari tahun 1976.(awal Suharto berkuasa di Indonesia). Zhou Enlai menghadiri Pertemuan Jenewa pada tahun 1954 yang telah menyelesaikan masalah Indocina sehingga kemerdekaan Vietnam ( kecuali bagian selatannya), Laos dan Kamboja memperoleh pengakuan internasional. Zhou Enlai mewakili Tiongkok memprakarsai prinsip hidup berdampingan secara damai yang merupakan patokan hubungan antar negara. Di depan Konferensi Bandung di Indonesia yang dihadiri 29 negara Asia dan Afrika pada tahun 1955, Zhou Enlai mengusulkan prinsip-prinsip hidup berdampingan secara damai, menentang kolonialisme, dan menganjurkan pencarian persamaan dengan mengbiarkan adanya perbedaan, dan mencapai kebulatan melalui musyawarah. Zhou Enlai membangun persahabatan antara rakyat Tiongkok dan rakyat sedunia.ini akan menjadi spirit generasi sekarang bahwa Indonesia dijaman dulu saling bertautan dengan pemimpin-pemimpin besar negara di dunia ini. Takdir kita sebagai bangsa besar memang tidak cukup di amini sahaja tetapi penting utuk didorong sepenuhnya sehingga mampu sejajar lagi dengan negara-negara besar lainnya.

Lisa's RetroStyle: ...And Now a Word From Our Shipping Department....

Lisa's RetroStyle: ...And Now a Word From Our Shipping Department....

Jumat, 12 November 2010

KUPERASI KOPERASI RAKYAT

* iw ende kusuma
Sebagai salahsatu sistem perekonomian yang sudah tidak asing di telinga bangsa ini yaitu koperasi. Koperasi berkedudukan politik kuat, ditopang oleh Pasal 33 UUD 1945 bahwa "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan", jadi bentuk usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan koperasi Didunia ini ada dua macam model koperasi. Pertama, adalah koperasi kerangka sistem sosialis yang dibina oleh pemerintah . Kedua, adalah koperasi yang dibiarkan berkembang di pasar oleh masyarakat sendiri, tanpa campurtangan pemerintah. Apakah koperasi Indonesia menjadi counterpart sector negara? Mungkin saja dalam skala tertentu berfungsi, karena bergerak social sector , merupakan wadah dari usaha individu dan usaha rumah tangga. Tapi mungkin kurang optimum, tergeser oleh firma atau perseroan swasta liberal.
Jika badan usaha milik negara merupakan usaha skala besar pemenuhan rakyat banyak dan industri strategis, maka koperasi dibentuk untuk mewadahi usaha-usaha kecil sektoral, walaupun jika telah bergabung dalam koperasi menjadi badan usaha skala besar juga (Indonesia masih belum serius mengoptimalkan kapasitas koperasi). Di negara-negara kapitalis, baik di Eropa Barat, Amerika Utara, dan Australia, koperasi menjadi wadah usaha kecil dan konsumen berpendapatan rendah, negara Jepang, koperasi menjadi perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian. Di pedesaan Jepang, koperasi menggantikan peranan bank atau menjadi semacam "bank rakyat", yaitu koperasi yang beroperasi dengan sistem perbankan.
Koperasi sebagai gerakan sosial sektoral bisa semakin optimal bila negara mendorong rakyat berpendapatan rendah (sektoral) untuk membentuk tiga macam koperasi. Pertama, adalah koperasi konsumsi yang terutama melayani kebutuhan buruh industri, kaum buruh tani atau perkebunan dan pegawai rendahan. Kedua, adalah koperasi produksi yang merupakan wadah kaum tani (termasuk peternak atau nelayan). Ketiga, adalah koperasi kredit yang melayani pedagang kecil dan pengusaha kecil guna memenuhi kebutuhan modal. Pendiri negeri ini pernah menganjurkan pengorganisasian antara industri kecil dan koperasi produksi, guna memenuhi kebutuhan bahan baku dan pemasaran hasil.Sehingga usaha menggaransi proses produksinya akan terus berkelanjutan bahkan semakin besar jaringannya.
Meskipun tujuan koperasi bukan mencari laba yang sebesar-besarnya, melainkan melayani kebutuhan bersama dan partisipasi pelaku ekonomi skala kecil. Tapi, tidak berarti, bahwa koperasi identik dengan usaha skala kecil melulu (kerdil). Dalam kenyataanya koperasi di Indonesia justru menjadi kegiatan yang “abal-abal” saja tidak ada keseriusan pengembangbiakannya, justru program tadi hanya untuk “pemerahan” koperasi hanya sebagai alat legitimasi program pengentasan “pura-pura” kemiskinan. Koperasi dibentuk dengan bantuan anggaran negara, tetapi masih dalam slogan ekonomi kerakyatan, bukan pada langkah konkrit rakyat sebagai pelaku ekonomi.

Koperasi seperti anak tiri perekonomian Indonesia, tidak ada sikap optimis dalam memandang penguatan pilar ekonomi rakyat. Akses kredit diturunkan kepada rakyat miskin, tetapi dengan azas dan tujuan peningkatan daya beli masyarakat. Bener daya beli meningkatan pasca pencairan akses kredit atau hibah sekalipun. Umunya bertahan 2-3 bulan, setelahnya miskin lagi bahkan lebih parah. Program pemerintah untuk peningkatan produksi, maka dibantulah kegiatan produksi masyarakat. Tetapi pasca panen produsen akan berhadapan dengan pasar liberal. Matilah produsen kita satu perstau dalam hitungan bulan. Pola konsumsi masyarakat digerakan untuk membeli produk-produk dalam negeri, ketika rakyat mulai mencoba mengkonsumsinya, justru pasar konsumsi diserang oleh kekuatan produksi asing yang sangat murah dan merajai pasar-pasar regional sampai lokal tanpa ada proteksi sedikitpun. Alhasil rakyat beralih lagi ke produk asing yang lebih murah (tanpa pajak dan proteksi).Mungkin sebaiknya jika kelak memilih pemimpin 2014, lebih baik yang memahami pilar koperasi konsumsi, produksi dan kredit untuk mewujudkan kemajuan perekonomian rakyat secara jujur , adil dan tegas.

• Aktivis seni pertunjukan, perupa karikatur , hidup sebagai petani gurem anggota koperasi SEKTI (Serikat Tani Independen ) Jember

Rabu, 10 November 2010

Pluralisme Budaya dalam konteks globalisasi Nusantara

Oleh :  Iwan Ende Kusuma, aktivis SDI Jember,02

Nusantara dalam ilustrasi
I
Politik ekonomi kolonial sangat mempengaruhi pola dan semangat perdagangan anak-anak bangsa Nusantara dari jaman ke jaman. Ketika kapal-kapal Eropa masuk memaksa pedagang Nusantara untuk berkongsi mengeluarkan komoditas rempah-rempahnya, menuju pasaran Internasional. Perkongsian tadi menimbulkan gesekan-gesekan kepentingan antar bangsa Eropa, baik Spanyol, Portugis maupun Belanda yang menyusul kemudian. Muncul pula kemasan isu-isu perang antar bangsa Protestan dan Katolik, demi penguasaan secara monopolistik komoditas “emas” tadi. Meskipun sempat juga terjadi perlawanan dari raja-raja Nusantara untuk membela kepentingan para pedagang pribumi tetapi tidak ada yang berhasil mengalahkan kekuatan laut Belanda, karena tidak serentak dan hanya parsial saja. Dan beberapa akibat yang dihasilakan adalah bahwa raja-raja yang kalah atau sengaja kompromi dengan Belanda menyetujui perjanjian-perjanjian dagang, terutama daerah pelabuhan kapal-kapal dagang pribumi yang menjadi saingan dan perintang Belanda dibakar dan dirusak. Tidak begitu lama pula sifat-sifat berlayar niaga dan perdagangan pribumi semakin hancur. Kota-kota pelabuhan besar sudah dikuasai oleh Belanda, terjadilah monopoli perdagangan semua peraturan yang dibuat belanda harus dipatuhi oleh raja-raja serta rakyatnya.

II
Di daerah pesisiran sempat pula terjadi pembrontakan yang dilakukan oleh pedagang-pedagang dari Cina yang merasakan ketidak adilan ketika melakukan perdagangan di Nusantara yang didukung oleh gerakan dari kaum pedagang pribumi di pesisiran, mereka menuntut dan menyerang kedudukan raja agar mampu memperjuangkan nasib perdagangan yang adil. Tetapi berkat bantuan kekuatan senjata dari Belanda, mampu ditumpas habis. Kolonialisasi Belanda semakin berbasis di dalam kerajaan-kerajaan Nusantara, walaupun baru saja kehabisan energi setelah bertempur dengan Portugis. Keuangan negara Belanda menjadi membaik dan menumpuk kekayaannya, ketika selama 3 tahun memaksakan sistem tanam paksa. Bahwa petani diharuskan menyerahkan sebagian tanahnya untuk kepentingan Belanda serta wajib menyetor pajak 1/5 dari hasil panennya. Mulailah praktek-praktek kolusi pada birokrasi-birokrasi yang berlaku di kerajaan Nusantara, muncul kelas-kelas baru  termasuk priyayi, pejabat birokrasi dan administrasi dan internal kraton/ kerajaan. Awalan penyusupan misi-misi kristen (protestan dan katolik) yang masuk mendampingi Islam, Hindu dan Budha, monopoli ekonomi, dan praktek birokrasi yang korup serta politik kekuasaan yang menghegemoni telah merambah dilini-lini kehidupan pribumi Nusantara. Penetrasi yang dilakukan oleh kolonial memang tidak serta merta tetapi justru bertahap dan pasti dalam pencapaian target penguasaan. Slow but sure ! lalu, adakah perlawanan-perlawanan dari pribumi yang terpinggirkan?

III
Perlawanan menjadi tidak berarti karena tekanan-tekanan yang dilakukan tidak terlalu hebat dan cukup menghantam kekuatan kolonial Belanda bahkan terjadi pembusukan-pembusukan pada setiap upaya pemberontakan. Rupanya kondisi dan semangat perlawanan pribumi di Nusantara pada waktu itu mengalami “perang saudara”. Dengan kemampuan memainkan politik adu domba, kolonial semakin leluasa menancapkan kekuasaannya. Tradisi dan kehidupan berbudaya masyarakat pun menjadi kabur, tidak menemukan kanal-kanal yang jelas, akar-akar tradisi semakin goyah melawan penetrasi budaya barat efek dari kolonial. Sifat budaya bangunan mereka menjadi inferior, menepi dan mengkerdil karena tergilas kepentingan kolonial. Apalagi setelah terbukanya jalur lalulintas jalan dan kereta api. Maka semakin lengkaplah penguasaan dan penjajahan oleh Belanda, untuk selalu mengkontrol dan mengebiri perlawanan pribumi. Tahapan berikutnya, munculnya wilayah-wilayah onderneming (perkebunan besar) sebagai pemenuhan fasilitas industri di Eropa. Mulailah babak-babak imperialisme barat yang menghisap aset kekayaan dan tenaga rakyat di negara ini.

IV
 Sejarah pemandulan perlawanan pribumi Nusantara dalam penindasan ratusan tahun rupa-rupanya perlu dijadikan kajian untuk memandang perspektif pergerakan Nasional “greget” perlawanan terhadap kolonial Belanda. Dengan menggunakan “bahasa” lain yaitu kebangsaan, bahasa yang seharusnya berjarak dengan kemampuan penerjemahan budaya pribumi di Nusantara. Dalam pembangunan sikap kebangsaan inilah terjadi pengalihan perlawanan dan menciptakan musuh bersama diantara kekuatan-kekuatan lokal (akar-akar tradisi) yang secara sosio kultural tersebar di seluruh Nusantara. Butuh waktu lama, untuk menyambungkan antara bahasa Intelektual (sarjana pribumi lulusan Belanda) dan para tokoh-tokoh lokal yang berbasis budaya setempat (ragam budaya Nusantara) yang tentu saja telah terkontaminasi oleh kepentingan kolonial. Tetapi kondisi sosio politik berkata lain, bahwa percepatan menyatukan secara politik ada kesepakatan “ Soempah Pemoeda” sementara meminggirkan strategi budaya dalam kasanah “nasion”. Pembentukan karakter nasional belum menyentuh bahasa-bahasa di akar-akar budaya yang ada di Nusantara, muncullah “bahasa” untuk mempersatukannya yaitu Kebangsaan Indonesia. Dan apakah mampu mengakomodirnya ! kalau belum akan diatur kemudian ! maka diagendakanlah wacana penguatan “ Rasa kebangsaan Indonesia dan pembentukan karakter nasional“ di akar-akar tradisi dan di suku-suku bangsa yang sudah masuk dalam wilayah ke Indonesiaan.

V
Wacana anti penjajahan dan dorongan saudara Tua Asia memaksa para “founding fathers” untuk bersikap secara nasional, pilihan politiknya pada pembentukan “state” yaitu  kemerdekaan Indonesia. Dengan sekian perbedaan yang ada diantara elemen-elemen pendiri bangsa inilah terjadi kesepakatan nasional bahwa “Indonesia Merdeka, merdeka dari penjajah Belanda”. Jadilah Indonesia, tetapi bahwa pembicaraan persoalan bangsa tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan memang masih menjadi pemikiran, karena sosialisasi kemerdekaan Indonesia daya jangkaunya tidak menembus seluruh Nusantara. Artinya tidak ada perubahan nasib yang nyata bagi para pribumi, mereka masih menjadi orang-orang yang terpinggirkan dalam sosial kemasyarakatannya. Mereka msih menjadi budak di negeri sendiri . Singkatnya ilustrasi serupa masih terjadi sampai sekarang Ya, setelah 50 tahun lebih Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

 

Globalisasi dan sikap Nasional

Globalisasi berasal dari “globe” dalam bahasa Inggris atau “la Monde” dari bahasa Perancis yang artinya Bumi, dan secara luas diartikan bahwa globalisasi akan menjadikan semua bangsa-bangsa di dunia ini satu bumi dan anta batas negara. Dalam arti politik ekonomi globalisasi lebih menghembuskan paham-paham liberalisasi pasar dan privatisasi perusahaan negara menjadi milik swasta publik (asing) tergantung pada mekanisme pasar Internasional. Dan yang akan menentukannya adalah siapa saja yang mampu berkuasa secara ekonomi.

Budaya global bila ditanggapi secara positif selalu mengedepankan isu-isu Hak azasi manusia, Pluralisme agama dan multi kultur, perlindungan lingkungan serta kemajuan teknologi dalam kemasan praktis modernitas yang semua itu adalah hak yang mestinya dapat diakses oleh seluruh umat manusia di dunia ini lewat berbagai media yang tanpa batas juga. Kejadian disatu tempat dapat di dunia ini dapat langsung di akses oleh individu di daerah lain tanpa kesulitan birokrasi apa pun, tentu saja kecepatan mengakses informasi tadi dengan syarat kemampuan menguasai teknologinya. Dan bila ditanggapi secara negatif akibat dari masuknya globalisasi itu adalah terbentuknya pola ketergantungan baik, ekonomi, teknologi bahkan politik pemerintahan pun akan terpengaruh.

Di era  global peran politik ekonomi mendesakkan perjanjian perdagangan antar negara bebas dan hampir tak mengenal batas, dalam implementasinya mengharuskan ada privatisasi pada perusahaan-perusahaan milik negara. Privatisasi dilakukan terhadap seluruh aspek ekonomi, termasuk diantaranya perusahaan-perusahaan telekomunikasi, bank, listrik bahkan BBM yang semuanya justru badan usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak. Di bidang pertanian, ada suatu kesepakatan yang disebut AoA (Agrement of Agriculture). Di dalam AoA ini diatur mengenai tidak bolehnya suatu negara melakukan proteksi perdagangan pertanian, penghapusan tentang pembatasan tarif, dan dihapuskannya kebijakan subsidi eksport dan produksi pertanian. Kesepakatan lain dibawah WTO ( World Trade Organisation)organisasi perdagangan dunia inilah yang mengatur mengenai pertanian adalah Trade Related Intelectual Proverty Rights (TRIP’s), suatu perjanjian mengenai pematenan terhadap teknologi hasil rekayasa genetika, termasuk juga keanekaragaman hayati yang diakui sebagai penemuan oleh pihak-pihak yang menguasai modal dan teknologi.

Tujuan pertama kali WTO adalah liberalisasi perdagangan, namun pada kenyataannya WTO menyebabkan monopoli perdagangan. Saat ini hampir 97 persen perdagangan dunia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Multi Nasional Coorporation (MNC) dan Trans National Coorporation (TNC).
Perusahaan-perusahaan Internasional  juga menguasai budidaya pertanian. Mulai bibit, pupuk kimia, pestisida dan cara pengolahan pertanian dimiliki oleh perusahan tersebut.  Di pelosok desa, petani telah dikenalkan, bahkan semakin tergantung dengan produk bibit, pestisida, fungisida dan pupuknya. Secara pasti petani mengalami ketergantungan dengan produk industri teknologi pertanian yang di monopoli oleh perusahaan internasional tersebut.
Perusahaan-perusahaan internasional juga masuk ke Indonesia lewat pertambangan, misalnya Freeport, Inco dan Newmont. Selain membawa persoalan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat dengan pengolahan limbah  yang buruk, industri pertambangan telah menggusur pertambangan rakyat. Korban pertama kali akibat tambang yang tidak bertanggungjawab adalah masyarakat pedesaan di sekitar industri tambang tersebut. Pendapatan ekonomi masyarakat sekitar tambang dengan mata pencaharian yang mengandalkan sumber daya alam telah hilang akibat perampasan hak atas tanah dan pencemaran pada sumber-sumber kehidupannya. Munculnya konflik horisontal yang membutuhkan biaya sosial yang tinggi, perseteruan antar warga, munculnya penyakit-penyakit sosial semakin tak terhindarkan. Aneka ragam penyakit menimpa mereka yang disebabkan zat-zat kimia yang mengalir lewat limbah tambang dan dibuang di sungai, pantai dan laut. Kecemasan yang sangat meresahkan adalah limbah kimia berbahaya yang telah merasuk pada proses regenerasi (fungsi reproduksi) masyarakat sekitar industri tambang yang tidak ramah lingkungan. Lalu bagaimana nasib bangsa bila generasi penerus telah tercemari limbah beracun,  adakah produk pemimpin yang cerdas dan briliant di masa datang ? Pribumi telah jauh dari alamnya, telah terjadi disharmonisasi dan keseimbangan antara jagad kecil (manusia) dan jagad besar (alam raya). Manusia tidak lagi menerima berkah alam dari sang  Penciptanya, mungkin ?

Dalam kondisi kini, globalisasi perdagangan meyebabkan investasi secara bebas masuk pada kepentingan tingkat pertumbuhan ekonomi negara, maka privatisasi sebagai jawaban untuk memudahkan penguasaan modal. Dalam kenyataannnya penguasaan modal merupakan kekuatan intervensi yang dominan terhadap semua kebijakan negara sehingga justru mengakibatkan keterlanggaran hak-hak warga negara. Nasib masyarakat, khususnya di wilayah pedesaan seperti diujung tanduk. Dari sisi kebijakan tidak ada perlindungan yang pasti akan hak-hak masyarakat, elite politik pun tak mampu mengadakan perlawanan atas intervensi kekuatan modal itu.

Pola-pola peniadaan kepentingan akumulasi modal skala kecil/ UKM untuk petani pada kasus pemasaran hasil produksi pertanian, nampak sekali pada produk kebijakan mengenai aturan pajak import hasil produksi pertanian dari luar negeri. Misalnya beras dan buah-buahan, jelas akan meminggirkan posisi petani. Imperialisme baru sedang terjadi!!!. Kewibawaan negara telah tergadaikan demi kepentingan segelintir investor asing, perang negara sebagai payung politik rakyatnya telah tertembus dan terlewati bahkan dibatasi oleh kepentingan ekonomi. Bagaimana sikap politik secara nasional menghadapi arus globalisasi yang semakin merangsek kepentingan rakyat ? Perjuangan elite politik lebih mementingkan kepentingan kekuasaan dan belum ada desakan untuk berbuat atau menciptakan kebijakan demi kesejahteraan rakyatnya. Rakyat Indonesia masih menjadi budak di negeri sendiri. Lalu bagaimana dengan pembentukan karakter budaya nasional Indonesia, apakah agenda itu masih berguna sebagai pembentukan perlawanan terhadap arus globalisasi sekarang ini. Ataukah sudah terlambat dalam penyikapannnya ketika berada ditengah-tengah arus globalisasi?

 

Semangat Pluralisme Budaya dalam posisi ke Indonesiaan

Indonesia kini, ketika masa-masa reformasi sudah berjalan sampai detik ini pun sepertinya  belum ada perubahan yang berarti untuk perbaikan keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua belum berubah baik  birokrasi dan administrasi pemerintahan, institusi peradilan, prilaku kelas-kelas peninggalan Belanda, penguasaan ekonomi dan penghargaan terhadap proses budaya di lokal-lokal. Perubahan yang hanya didasari kepentingan politik telah merubah struktur politik menyangkut keberadaan dan aturan dasar negara (amandemen UUD 45), tetapi itu tidak akan berarti juga ketika suasana hegemoni negara masih terlalu dominan. Lantas bagaimana semangat pluralisme budaya mampu memberikan kontribusinya dalam membangun interaksi kehidupan berbangsa ?

Pluralisme budaya pada substansinya merupakan nyawa atau inti semangat kekuatan interaksi komunitas tradisi dalam memandang kompleksitas kemajemukan budaya Nasional, dan semangat ini faktor potensial  untuk menggagas toleransi antar budaya di Nusantara. Kata-kata kutipan kitab Bhagawad Gita bahwa semangat interaksi antar manusia adalah untuk menambah kesuburan Religiositas jaman baru yang sejuk, toleran, tidak fanatik dan tidak dogmatik seharusnya mengingatkan pada kepercayaan komunitas tradisi atau mitologi di Nusantara tentang sikap mental “tantularisme” keesaan Tuhan dan keesaan kebenaran berujung pada cinta kasih. Dalam konteks ini kebudayaan diartikan sebagai suatu harkat yang secara esensial, alamiah dan kekal menjadi “jiwa” sebuah negara dan bangsa. Kebudayaan adalah”nilai-nilai luhur” yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari negara dan bangsa, dan biasanya ujung-ujungnya ber”markas” pada primordialisme lokalitas.

Dan realitas ini adalah pengalaman kondisi pemahaman pluralisme budaya di Nusantara , karakter budaya lokal yang religius, non dogmatis, akomodatif, toleran dan optimistik telah tertergeser menjadi nilai-nilai politik kebudayaan. Munculnya Pancasila oleh Soekarno, merupakan pemahaman pluralisme budaya yang memasuki wilayah politik kebangsaan saat itu, dilanjutkan dengan struktur politik liberal (demokrasi parlementer) serta pelaksanaan pesta demokrasi politik 1955 dengan multi partainya sampai pada Dekrit Presiden (politik tangan besi: demokrasi terpimpin), dan otoriter pluralitas pada kekuasaan ORBA yang telah mengembalikan pandangan yang mengesahkan “pada kondisi budaya yang majemuk (plural) membutuhkan kekuatan tangan besi untuk mengaturnya” budaya yang centralistik. Lalu bagaimanakah praktek strategi budaya di masa pemerintahan reformasi oleh Megawati ditengah-tengah semangat politik ekonomi yang neo-liberal ini ?  Adakah langkah praksis untuk menebus dosa sosial ?

Ajaran menuju kebaikan demi kemaslahatan orang banyak telah banyak mengalun dan mengalir pada pemikiran para pemikir bangsa dan hampir sepanjang masa pula ajaran tentang moralitas tersebut di si’arkan lewat mimbar-mimbar, podium-podium, lembaga-lembaga adat, institusi pendidikan bahkan di institusi-institusi dan pelembagaan agama untuk umatnya. Tetapi hampir-hampir tidak memunculkan hasil yang menggairahkan demi ke Indonesia an yang lebih baik untuk kesejahteraan rakyat, kreatifitas tradisi yang mendinamisir budaya lokal nampaknya mengalami jalan buntu. Budaya lokal telah berada dalam himpitan kekuatan politik budaya global yang menyerang setiap unsur dan sendi-sendi kebudayaan, diskriminasi semacam ini tentu saja memerlukan penyikapan secara nasional dengan jaminan negara sebagai payung politik. Realitasnya budaya lokal sebagai institusi komunitasnya pun tidak pernah berpikir global dan pemikiran global yang tidak pernah di”bumikan” ke lokal yang menyebabkan kemandegan. Kuatnya arus globalisasi semestinya disikapi secara kontekstual, mungkin dengan menggagas penguatan pemahaman kebudayaan yang “baru”.

 

Menggagas Indonesia “Baru”, suatu yang tabu ?

Kebudayaan Indonesia disusun oleh kesatuan atas berbagai daya rangsang suara rakyatnya  yang dilontarkan keseluruh  sudut dunia yang kemudian dilontarkan kembali dalam suaranya sendiri. Sehingga bangunan entitas budaya lokal perlu penguatan bukan pelestarian tetapi lebih mengarah pada penataan sebagai organ yang mampu bersikap secara mandiri dan resisten terhadap goncangan “perubahan”, membangun dialektika kehidupan kontituennya menjadi kepercayaan budaya “baru”.  Karena Revolusi budaya  adalah penempatan nilai- nilai baru atas nilai-nilai usang  yang harus dihancurkan, termasuk rekonstruksi budaya lokal menuju revitalisasi tradisi agar lebih demokratis (tidak paternalistik), tidak terlalu fanatisme, insklusif dan memandang penting proses transformasi nilai dan regeneratif dan tetap memandang pluralisme budaya tawaran globalisasi secara kritis.

Kebudayaan tidak bersifat esensial deterministik, melainkan adalah sebuah  proses konstruksi “imajinatif” yang dinamis dan terus menerus berlangsung untuk menentukan sesuai hati dan pikiran untuk kebutuhan jaman. Artinya kebudayaan Indonesia adalah kekuatan “kata kerja” yang selalu memandang”kemajemukan adat budaya yang dinamis dalam wilayah nasion/ bangsanya” atau kebhinekaan dalam kasanah demokrasi Indonesia.

Pandangan kebudayaan “baru” mengarah untuk membangun terbentuknya kedaulatan dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia dengan semangat kebangsaan, mungkin pada tahapan awalnya perlu “perjuangan kelas” oleh komunitas masyarakat yang terpinggirkan baik secara ekonomi, budaya dan politik. Pada kondisi yang adil tanpa diskriminasi ini baru dibicarakan konteks Pluralisme budaya dalam kasanah Kebangsaan. Bahasa konktret tahapan ini adalah merebut kembali akses modal secara ekonomi untuk membangun kondisi struktur politik dan budaya di dalam komunitas masyarakat lokal. Kondisi ini sebenarnya menjawab bahwa Pluralisme budaya bukan di”motori” oleh politik globalisasi tetapi justru merupakan penyikapan nasional. Bahwa pengembalian semangat kebangsaan dan kewibawaan negara sebagai payung politik yang melindungi segenap bangsa dan rakyat  Indonesia, kondisi ini penting dan harus segera diwujudkan, agar negara tidak selalu terkontaminasi oleh politik ekonomi global. Efeknya pada pemerintah daerah (otonomi daerah), atau bahkan pada institusi-institusi pendidikan (swastanisasi) maupun ekonomi(privatisasi). Dan mungkin pula menghinggapi pemikiran kita sekarang ini.

Mungkin ide ini masih abstrak : kalau secara ekstrem katakanlah suatu usaha menuju “Federasi Indonesia” (sistem negara federal), ini yang perlu untuk selalu dicermati. Bahwa gagasan federasi akan banyak syarat yang mengikutinya  :

  1. Negara dalam keadaan stabil artinya kondisi keteraturan dari masyarakatnya telah mencerminkan demokrasi. Negara-negara bagian nantinya akan diatur oleh aturan-aturan mengenai politik luar negerinya oleh Pusat (sentralisasi) juga hasil pendapatan SDA, keahlian SDM, semuanya tidak seenaknya atas otonomi ekonomi yang individualistis.
  2. Negara menjamin pembentukan entitas budaya lokal sebagai rumpun solidaritas etnis kesamaan karaklter dan tradisi dalam sustu kewilayahan. Budaya lokal adalah sebuah kekuatan organ yang akan mampu mengatur strutur politik dan akses ekonomi sebagai perimbangan pendapatan dan partisipasi dalam kebijakan politik secara nasional
  3. Negara sebagai payung politik, untuk mengatur, mengelola dan merencanakan suatu koordinasi secara nasional tentang politik luar negeri, yang menyuarakan kepentingan masyarakatnya.

Dari berbagai syarat di atas mungkin pandangan tentang federasi akan lebih dapat dilihat sebagai wacana kebangsaan. Sehingga jargon “persatuan dan kesatuan”  dan klaim Nasionalisme Indonesia lebih jelas dan bukan semata-mata demi menyelamatkan aset elite-elite di Jakarta ( bahaya laten)  karena terjadi dikotomi pendapatan yang hanya menyentral di satu poros Jawanisasi. Jika desentarlistik terjadi maka kemungkinan akan menumbuhkan kesadaran kebangsaan atas kesamaan rasa solidaritas etnis, tradisi dan karakter budaya lokalnya maka, rakyat Aceh, Papua  , Borneo, Sulawesi atau Maluku yang sekian lama terhisap SDA-nya tanpa mengenyam sedikitpun hasil kekayaannya, akan kembali bergairah dan kreatif dalam mengenali budaya lokal yang selama ini terpinggirkan oleh kepentingan “strategi kebudayaan Nasional” yang sentralistik. Sehingga akan mampu mewarnai pembentukan karakter budaya nasional sehingga lebih bercorak “imajinasi” ke Indonesia an di jaman baru. Smoga dapat dijadikan bahan diskusi yang menarik. Amin.





Kamis, 04 November 2010

rakyat merdeka 21%

kerakyatan kita dipimpin oleh 21% orang Indonesia, dapat kita definisikan dengan kehidupan yang menimpa rakyat di negara kita, dengan prakiraan pandangan kenyataan :
  1. Pembangunan ekonomi di Indonesia, masih di nikmati 21 % rakyat kelas atas
  2. Hanya 21 % saja terjadi pembangunan di daerah-daerah
  3. Setiap tahun penyerapan tenaga kerja hanya 21 %
  4. Pembangunan rumah untuk rakyat menengah-kebawah setiap tahun hanya 21 % saja
  5. Akses kredit pemerintah hanya 21 % yang dikucurkan pada rakyat kelas bawah
  6. Hanya 21% fasilitas pendidikan yang diserap oleh rakyat miskin
  7. Petani tebu hanya menikmati keuntungan 21 % dari seluruh hasil produksinya
  8. Petani tembakau hanya mendapatkan 21 % bagi hasil cukai
  9. Hak mendapatkan fasilitas kesehatan untuk rakyat miskin hanya 21 % yang dipenuhi 
Jangan-jangan negri ini hanya bersisa 20% yang bisa dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia, setelah di akumulasi peruntukan dan manfaatnya oleh rakyat kelas atas  . Wah bisa gawat nich, kalau terlalu lama kita tidak serius dalam pengelolaan sumber-sumber agraria kita. bisa-bisa kita nanti akan menyewa negri sendiri hanya untuk menyambung hidup dan menghirup udara...atau nantipun bernafas jadi cukup dengan jatah  kuota 21 % udara bersihnya .
Berkah para pemimpin negri ini dahulu yang telah menghantarkan kedepan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia ternyata mengalami penyusutan tajam....mungkin kemerdekaan Indonesia dulu belum mentok ke angka 100%, sehingga benturan dan gonjang ganjing yang terjadi selama ini menyebakan ausnya prosentase kemerdekaan Indonesia. Atau kita bersama rakyat semua yang tidak pernah memupuk rasa bangga terhadap kemerdekaan Indonesia dan justru mengabaikan kosa kata "didepan pintu gerbang kemerdekaan" tersebut. Bahwa makna yang mungkin akan muncul pasca "kita memasuki  pintu gerbang" tersebut tidak ter diskusikan dengan detail. akibatnya setelah masuk...kita gagap...kita takut....kita tidak berdaya...kita diam atau kita mesti ribut-ribut mencari posisi sendiri-sendiri secara optimum dengan angka 21 % ? smoga para pendiri negri Indonesia ini tidak kecewa terhadap perjuangan kita dalam mempertahankan kemerdekaan 100%.dam semoga para pemimpin Indonesia sekarang ini segera berjuang untuk mendapatkan kemurnian kemerdekaan 100% bagi seluruh rakyat Indonesia.

Senin, 01 November 2010

urban art apalah itu


Bahan diskusi urban art di komunitas Sindikat Jember
Pengaruh budaya perkotaan yang berhubungan dengan bahasa yang dipergunakan di masyarakat sebagai subyek pelaku berbahasa, terutama untuk alat komunikasi dan interaksi sosial, telah banyak di kemas dengan sajian media komunikasi. Jika tak terimbangi maka muncul karena problematic kota. Masyarakat urban adalah masyarakat diarea kota yang terpinggirkan akan menjadi komunitas marginal. Sementara masyarakat urban adalah masy yang didorong oleh keinginan harus dipenuhinya kebutuhan kehidupan yang penting , jika komunitas marginal ini sangat sulit bertahan dalam wacananya sering disebut kemiskinan urban yang marginal diarea perkotaan.

Masyarakat ini dihasilkan oleh daya tarik industri dan komersialisasi di perkotaan, ketika mereka gagal maka mereka akan menyandang predikat masyarakat marginal. Marginal selalu diidentikan dengan kemiskinan. Biasanya mereka miskin secara ekonomi, kesehatan, pendidikan dan pemenuhan rasa aman (bayang-bayang hidup illegal). Jadi problem pokoknya adalah uang (ekonomi) dan legalitas (resmi) sehingga menyebabkan aktifitas diluar sistem sebagai pertahanannya, pilihan yang muncul adalah aktifitas informal. Bahwa aktifitas informal seringkali berhadapan dengan sistem legal setiap harinya maka  semakin lama menjalani hidupnya komunitas marginal ini menjadi lebih kreatif. Bahkan lapangan kerja yang hampir tidak pernah terpikir oleh sistem legal justru menjadi hidup dan menyerap ketenagakerjaan diantara mereka. Meanstream pragmatisnya pemenuhan sandang, pangan dan papan, adanya lapangan sosial baru dan ruang hidup yang aman dari ancaman, ini sudah hampir sama dengan pola hidup masyarakat kota lainnya, meski dalam pencariannya seringkali mereka tempuh secara ”illegal” menurut pandangan umum dominasi sistem legal di kota. Komunitas marginal tentusaja dalam membentuk koloninya akan terdapat sistem yang mereka yakini sebagai sistem sosial diantara mereka, meski tetap saja terdapat stratifikasi klas didalamnya. Tapi selama mereka merasa nayaman dan tidak protes tentu tetap akan berlangsung sistem sosial tersebut. Tetapi jika sudah tidak terjadi kecocokan maka akan terjadi ”perang” internal komunitas, atau memilih keluar dan mencari ”ruang baru” meski sama-sama ”illegalnya”. Bahkan lebih dinamis gesekan yang terjadi dalam komunitas masyarakat marginal perkotaan ini. Apalagi urusan perut pasti akan lebih vulgar perlawanannya.

Pendekatan Sosiolinguistik, merupakan  kajian sosiologis yang berdekatan dengan pengamatan masyarakat urban, mengenai daya tahan hidup dan menjelma menjadi komunitas marginal perkotaan (hitoris rural displaced) yang berkomunikasi dan interaksi menggunakan kebahasaan tersebut ternyata mereka mampu membentuk realitas budaya urban diarea kota. Mungkin belum ada kajian yang secara positif mengarah pada kedirian subyek orang-orang marginal perkotaan, bahwa mereka justru mampu melakukan perlawanan, perubahan dan keterbukaan secara konkrit setelah mereka berhadapan dengan industrialisasi dan komersialisasi kota. Karena di perdesaan tidak ditemui gesekan semacam ini, jadi perubahan di desa menjadi sangat lamban. Perubahan kota secara sosiologis biasanya didukung oleh suasana terbuka, masyarakat yang terdidik serta kemajuan ilmu dan teknologi (non ethis) yang secara komulatif disodorkan dengan cara-cara persuaisif (terus menerus) via media apasaja. Dengan tujuan untuk mendekatkan dengan irama industrialisasi dan komersialisasi pada konsumennya di area perkotaan serta membuat mimpi-mimpi baru bagi masyarakat di perdesaan.

Lalu pertanyaan berikutnya adalah apakah kota Jember sudah demikian metropolitannya ? ini yang selalu membuat ragu para pengamat sosiologi perkotaan. Pernah pada suatu saat (1995) seorang aktifis SAMIN Yogya (sekretariat anak merdeka) pendampingan anak jalanan mengatakan bahwa Jember masih belum bisa dikatagorikan metropolitan, jadi sangat tidak mungkin ada anak jalanan, perlawanan kaum marginal dan komunitas miskin kota. Tetapi pada perkembangannya Jember demikian cepat menjelma bagaikan kota metropolis kecil yang sudah mencukupi syarat-syarat perkotaan dan sudah banyak menghasilkan aktifitas informal yang muncul dari komunitas marginal perkotaan, mulai dari merebaknya PKL, stokist barang bekas pemulung, anak jalanan, pengamen di lampu-lampu merah, mulai ada kemacetan dibeberapa ruas jalan pada waktu tertentu, kejahatan dengan frekuensi meningkat, pengangguran, perlawanan penggusuran pasar, kehidupan malam yang menggeliat terasa mengadakan perlawanan kecil-kecil terhadap dominasi sistem legal di kota Jember ini. Tak luput dari pengamatan adanya perkembangan komunitas punk, pilihan karir musisi via grup band indie, corang moreng anti kemapanan dari graffiti di tembok-tembok kota, ekspresi seniman muda yang menonjolkan kebebasan dan perlawanan via seni desain grafis baik terlihat dari karya seni maupun perilaku keseharian, sehingga menampakan dinamika seni  di kota Jember.

Membahas topik Urban art jadi teringat bentuk ekspresif buruh yaitu terbitan Jurnal Boemi Poetra yang bertujuan membangun tradisi sastra sebagai sarana perjuangan nasib buruh, meski tidak sedahsyat aksi mogok. Sejak 1995 telah lahir penyair-penyair buruh dengan beberapa naskahnya bersanding dengan penyair-penyair di Jurnal Kalam maupun Horison. Bahkan dalam polemiknya mereka sering menyentil komunitas Utan Kayu dan Dewan kesenian Jakarta yang masih berkutat dan mengagungkan standar estetik karya. Kesadaran akan pentingnya makna perlawanan buruh, membuat mereka selalu menekankan pentingnya solidaritas, perlawanan pada ketidakadilan yang menimbulkan kesenjangan, perampasan hak buruh yang dilakukan pemodal dan mengkritik elite politik yang tidak pernah menyusun kebijakan yang berpihak pada buruh. Nyata, konkrit dan sangat realistis masalah yang dihadapi para buruh tersebut. Bahwa Jurnal sastra buruh sudah seharusnya menjadi pencerahan ” kejelasan sikap setelah mengapresiasi informasi”, terutama para buruh dan masyarakat lainnya.

Membaca Sindikat hari ini, sama halnya melihat karya seni desain grafis dengan kecenderungan eksplorasi ekspresi kebebasan, pedidikan kritis, sindiran dan permasalahan masyarakat urban  serta mimpi dan harapan-harapannya yang dikemas secara persuasif. Karya desain ini mencoba untuk membuka cakrawala masyarakat kota dan problematikanya. Mungkin karena kesadaran sebagai masyarakat urban ? atau hanya sekedar sebagai simpatisan yang meneropong masyarakat urban masih belum nampak jelas benar dalam perwujudan karyanya. Polemik pertambangan dan masalah lingkungan, penegakan hukum, korupsi,sikap terhadap pariwisata, nasib buruh perkebunan, sikap eksekutif dan legislatif terhadap kasus rakyat, penggunaan kompor gas (konversi), pelayanan ruang publik, serta penciptaan promo untuk karya seni tradisi, carut marut pengaturan transportasi, penyikapan terhadap media audio visual (TV), masalah saprodi pertanian dan banyak topik yang masih belum tereksplorasi yang akan muncul dalam ruang pamer setelah ini. Dan mampu mengajak berinteraksi dengan massa urban secara lebih dekat lagi, tentu saja dengan setup ruang pamer interaktif.

Tapi jika dilihat dari pemunculan eksistensi berkesenian, nampak juga gejala meanstream pragmatis dari komunitas urban yaitu dengan membangun interaksi sosial dengan masyarakat urban, membuka lapangan sosial ”baru” pekerjaan yang menghasilkan nilai ekonomis, penyikapan perubahan terhadap aspek ketertindasan masa lalu dan berusaha menciptakan ruang hidup komunitasnya . Maka tak lain yang dapat terucap hanya selamat atas kelahiran Komunitas Sindikat Jember, semoga selalu mampu survival di area urban dalam keadaan seminim mungkin dukungan dari luar.Bahwa Jember adalah lahan yang cukup potensial bagi kegiatan seni terutama desain seni grafis (red: langka ndek jember) sekaligus memajukan daya apresiasi masyarakat terhadap gejala sosial dengan karya-karya yang disodorkan diwaktu-waktu akan datang.   Selamat berinteraksi dengan masyarakat Jember. Selamat berjuang !
Iwan ’Ndut pekerja seni Jember , 23 Nov 2009