Selasa, 15 Februari 2011

kiai kampungan...eksis kah ..!!

Gagasan forkuum Indonesia Raya
Latar belakang
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, globalisasi bergerak semakin tak terbendung. Satu peristiwa yang terjadi disalah satu pojok muka bumi ini dapat disaksikan dalam waktu relatif bersamaan dibelahan bumi yang lain. System nilai dan system budaya suatu bangsa, cepat atau lambat, akan berpengaruh terhadap system nilai atau budaya bangsa lain. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, globalisasi tidak senantiasa menguntungkan. Disamping dampak positif, globalisasi mempunyai dampak negatif yang tidak mudah dinafikan. Sistem nilai dan budaya bangsa-bangsa berkembang, terutama Indonesia cenderung tidak mampu menahan arus globalisasi yang pada akhirnya tidak lebih sebagai arus westernisasi. Meskipun tidak selalu berdampak negatif, utamanya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan adalah barokah atau anugerah pemberian Tuhan YME kepada fitrah manusia. Tetapi jika kita tidak kritis & selektif dalam memanfa’atkannya, akan jauh lebih merusak dan berbahaya bagi kehidupan manusia di bumi ini.

Namun demikian, ditengah gempuran arus modernisasi yang luar biasa dahsyat, dinegeri ini masih ada kelompok-kelompok masyarakat yang peduli dan mencurahkan perhatiannya untuk meminimalkan dampak negatif globalisasi. Diantaranya adalah ustad dan kiai langgar, guru ngaji mushola, remaja masjid atau remaja mushola serta pondok pesantren yang berada dikampung-kampung terpencil mererupakan bagian dari kelompok yang resisten terhadap dampak negatif globalisasi sebagaimana budayawan, intelektual yang kritis, kelompok ini mempunyai pengikut ajarannya . Kelompok ini justru memilih pola bertahan pada tradisi adan ajaran imamnya sebagai panutan dan pandangan dunia akherat, sehingga terkesan kolot , salaf dan susah diajak menuju perubahan. Tetapi kapasitas para pemimpin kelompok-kelompok kesil di kampung-kampung ini merupakan tujuan meminta pertimbangan baik oleh pengikutnya maupun masyarakat sekitarnya, dengan kedekatan jarak tersebut maka secara alamiah para pemimpin tersebut selalu terkontrol oleh masyarakatnya.
Maka dalam konteks penyerapan peradaban, kiai kampung langgran, guru ngaji mushola danpara remaja masjid merupakan “ avant gard “ yang melakukan perlawanan pertahanan cultural terhadap dampak globalisasi, setidaknya dilingkungan masing-masing. Artinya, kelompok ini merupakan variable penting dalam meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya. Tetapi selama ini takda penghargaan yang berarti bagi kelompok ini, hal ini sangat berbanding terbalik dari perannya yang sangat dibutuhkan demi memfilter gelontoran arus global dengan segala eksesnya. Berkurangnya kegiatan anarkisme yang berujung isu SARA, menurunya tingkat buta aksara, rendahnya tingkat kriminalitas atau pelanggaran hukum dilingkunganya adalah kontribusi imam kelompok ini dalam membina lingkungannya. Para pemimpin kelompok ini tidak saja mengenalkan dan mengajarkan baca tulis Al quran pada masyarakat, tetapi juga memberikan informasi tentang kognisi diluar komunitasnya, serta yang tak kalah pentingnya merupakan kelompok penjaga alur tradisi dan system nilai dilingkungannya. Dengan demikian keberadaan kelompok ini menjadi semakin penting dan diperlukan di era globalisasi ini. Bahwa dalam sistem sosial para pemimpin kelompok ini dapat didefinisikan bahwa kiai kampung, imam mushola, guru ngaji langgar dan ustad muda adalah “ jabatan atau penghargaan atau sebutan“ sosial yang diberikan oleh masyarakat disekitarnya, bukan oleh negara. Karena itu mereka termasuk bagian dari intelektual organik dengan segala pelayanan terhadap masyarakat sekitarnya. Meskipun mempunyai posisi dan peran sangat penting dalam lingkungan sosial kemasyarakatan, para pemimpin kampung tersebut (kiai kampung, ustad langgaran,guru ngaji mushola dan ustad muda) tidak pernah mendapatkan perhatian dari pihak lain, apalagi penghargaan yang sesuai dengan kontribusi yang telah disumbangkannya kepada bangsa dan negara terutama dalam hal pembangunan spiritual masyarakat dlam mengahdapi globalisasi. Lantas penghargaan seperti apa yang pantas bagi perjuangan mereka selama ini ? Yang pertama terpikirkan adalah memberikan support moril bahwa pemimpin-pemimpin seperti mereka yang tersebar diseluruh pelosok Nusantara ini banyak tetapi memang tidak pernah terhubungkan satu dengan lainnya (terbatas clan atau lingkar budayanya). Berdasar wacana diatas, maka yang pantas diberikan kepada mereka bukan hanya pemberian bantuan meteri semata, melainkan tindakan nyata yang lebih bersifat immaterial dan bermanfa’at bagi mereka. Semacam wadah penciptaan komunikasi yang kondusif antar mereka, dan bahwa keterhubungan mereka sebut saja para alim ulama tersambung dengan ummaro (birokrasi dan cerdik pandai) serta masyarakat disekitar lingkungannya. Sehingga diharapkan sinergisitas yang terbangun akan memberikan situasi sosial kondusif penuh dengan keharmonisan, kedamaian dan toleran. Dari pemikiran ini maka dibentuklah Forum Komunikasi ulama umaro dan masyarakat (FORKUUM) sebagai jaringan spirit penghargaan akan dedikasi para alim ulama pinggiran, kampungan yang sering termarginalkan oleh sistem politik kenegaraan yang berlangsung bahkan seringkali mereka menjadi korban pertarungan elit politik sesaat.
Basis pemikiran kedua adalah penghargaan atas segala macam bentuk imbalan, hadiah atau bantuan tanpa sayarat apapun bisa jadi positif dan menggembirakan mereka. Tetapi tidak menutup kemungkinan dampak negatif yang akan merusak mengganggu spirit mental para alim ulama . Sehingga dengan forum komunikasi tersebut akan memudahkan jaringan untuk senantiasa saling mengingatkan pada tujuan utama yaitu pelayanan harus ikhlas dan hanya berharap pada ridlo Nya semata. Dengan Forum ini nantinya akan mampu menjadi filter akan sifat-sifat bantuan yang terlalu membuat kecanduan dan ketergantungan. Maka dapat disimpulkan, bahwa FORKUUM akan berusaha agar bantuan materi jadi lebih baik dan lebih berguna bagi masyarakat, tetapi bilamana bantuan tersebut akan menjadikan para alim ulama berubah haluan akan segera dialihkan. Karena bukan hal mustahil dan tidak terlalu sulit ketika dana bantuan itu dikelola secara tepat. Secara teknis akan lebih tepat diserahkan oleh tenaga-tenaga profesional , dan berangsur atau bertahap, dan dijadikan modal usaha bersama sesama guru ngaji yang dapat diambil selama satu tahun. Dengan demikian seorang guru ngaji akan mendapat bagian dari hasil usaha yang dikelola secara baik dan transparan. Tinggal disesuaikan dengan situasi lingkungan setempat (geografis) serta potensi SDM dan sumber alamnya.
Basis pemikiran ketiga adalah, pentingnya menjaga spirit persatuan kebangsaan Nusantara, karena FORKUUM menganggap pembangunan jiwa nasionalisme Indonesia Raya sangat diperlukan ketika negara dalam keadaan kritis kepercayaan. Hampir tidak ada konsep dan teiri yang ampyh yang mampu menyelesaikan masalah rakyat negri ini. Dalam pemikiran ini lahirlah ide gagasan untuk menyatukan spirit menjadikan masa depan Indonesia ke arah yang lebih baik lebih menemukan terangnya jalan menuju kejayaannya, yaitu dengan cara menghimpun para alim ulama, umaro dan masyarakat secara bersama memohon petunjuk- Nya dengan melakukan Istighosah, muhasabah dan mujahadah sehingga Indonesia akan diberikan jalan terang dan penuh kedamaian. Sebagai pelaksanaanya dibentuklah sebuah badan yaitu JIIR Jamiah Istighosah Indonesia Raya, yang akan mengatur secara teknis pertemuan demi pertemuan secara bergulir para alim ulama, umaro dan masyarakat demi kejayaan Indonesia Raya yang seperti dicita-citakan oleh para pendiri negeri ini.
Demikian tiga basis pemikiran utama terbentuknya FORKUUM yang diharapkan akan mendapatkan sambutan dari jaringan silahturahmi yang telah terjalin selama ini serta jaringan baru yang akan bergabung. Tambahan mengenai segala kepentingan dalam upaya pembangunan FORKUUM kedepan kearah yang lebih mantap, akan diadakan pertemuan akbar di bulan mei tahun 2011 ini.
Penggagas Forkuum & JIIR
Fahim, Iwan, Johari, Faruk, Soleh